Pengalaman Hidup di Bern, Swiss


Meski saya sudah lama lulus dari kuliah di Swiss, sampai sekarang masih banyak media yang menawari saya sumbang tulisan tentang pengalaman hidup di sana. Cerita berikut ini dimuat di Majalah El-Fata edisi Maret 2016. Bisa dibaca juga di link ini:

http://majalah-elfata.com/index.php/oleh-oleh-manca/313-pengalaman-hidup-di-bern-swiss

Perkenalkan, nama saya Mahir Pradana. Saat ini saya berprofesi sebagai dosen di Universitas Tekom, Bandung. Pada tahun 2011 hingga 2013 lalu, saya berkesempatan untuk kuliah magister di Universitat Bern, Swiss. Berikut ini adalah sedikit cerita saya di negeri yang terletak di kaki pegunungan Alpen itu.
Selepas lulus kuliah dari salah satu universitas di Bandung, saya memang bercita-cita untuk melanjutkan kuliah ke salah satu negara di Eropa. Alhamdulillah, kesempatan itu datang berkat sebuah program beasiswa yang membawa saya ke Bern, ibukota negara Swiss. Pada bulan September 2011, tibalah saya di negara mungil yang berbatasan dengan Jerman dan Prancis tersebut.
Tentu saja, tinggal di negara asing benar-benar pengalaman baru bagi saya. Kendala-kendala gegar budaya langsung menerpa, seperti misalnya kesulitan beradaptasi dengan makanan, suhu udara Swiss yang cukup dingin, apalagi pada saat saya pertama tiba sudah memasuki musim gugur, dan terakhir, bagaimana saya beribadah. Tanpa suara adzan yang berkumandang, saya tentu saja hanya bisa mengira-ngira kapan waktu salat berganti. Untungnya, saya sedikit terbantu dengan beberapa situs internet yang memprediksi waktu adzan di setiap negara di dunia.
Seminggu pertama saya lewatkan tanpa menunaikan ibadah salat Jumat. karena kegiatan di kampus masih sangat padat, antara lain orientasi mahasiswa baru, lalu perkenalan setiap mata kuliah, dan lain-lain. Selain itu, beberapa klub mahasiswa juga sedang gencar-gencarnya mengadakan welcoming party yang biasanya diikuti dengan hiking atau bertamasya ke gunung atau ke danau. Kegiatan wisata alam ini memang seringkali diadakan di akhir pekan, yaitu jumat siang sampai Minggu.
Nah, setelah bertemu dengan komunitas Indonesia di Bern, barulah saya memperoleh informasi seputar tempat beribadah umat Islam di kota Bern. Salah satu warga Indonesia pertama yang saya kenal adalah Ibu Fifi, yang sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Bern. Oh iya, Pak Yocki, suami Ibu Fifi, adalah warga Indonesia yang bekerja di kedutaan Malaysia untuk Swiss. Suami-istri ini sangat concern dengan urusan keagamaan. Prinsip mereka adalah tidak pernah meninggalkan ibadah meskipun tinggal di negara di mana umat Islam adalah minoritas.
Dari merekalah saya mengetahui bahwa salah satu masjid terbesar di Bern merupakan milik warga keturunan Turki yang berada di wilayah Ostermundigen. Menariknya, masjid ini justru dibangun di bekas toko yang menjual minuman beralkohol. Cukup unik juga jika melihat sejarah bangunan ini, karena fungsi sekarang dengan fungsinya dulu sangat bertolak belakang. Konon, sewaktu masjid ini dibuka tahun 2010 lalu, sempat didiskusikan bersama-sama oleh para pemuka Islam keturunan Turki dengan pemuka-pemuka agama lain, seperti pemuka agama Katolik. Tujuannya adalah untuk menjaga toleransi beragama dengan umat agama lain.
Meski demikian, saya cukup terkendala jika setiap minggu harus bepergian ke masjid di daerah Ostermundigen tersebut. Masalahnya karena daerah itu cukup jauh dari kampus saya yang terletak di pusat kota. Namun, berkat sering bertanya dengan umat Islam lain di masjid tersebut, saya akhirnya memperoleh informasi lain bahwa terdapat salah satu masjid lain yang letaknya hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki dari kampus saya.
Masjid Salam (Salam Verein), nama masjid tersebut, terletak di daerah Sulgenau. Masjid ini ternyata diurus oleh komunitas Islam Somalia. Pada saat itu, saya juga baru tahu bahwa warga Muslim Somalia di kota Bern jumlahnya cukup besar. Kebijakan Swiss di awal tahun 2000-an membuka pintu bagi para pencari suaka asal Afrika membuat saat ini banyak warga dari benua hitam yang tinggal di negara tersebut. Warga Somalia yang sebagian besar Muslim berinisiatif untuk menyewa sebuah ruangan di lantai dasar sebuah apartemen untuk dijadikan tempat ibadah.
Akhirnya, meskipun Masjid Salam berukuran jauh lebih kecil dari Masjid Turki di Ostermundigen, saya bisa tiap hari Jumat menunaikan ibadah salat Jumat berkat lokasinya yang cukup dekat. Saya juga memperoleh banyak kenalan sesama jemaat di masjid Salam, baik warga Afrika, Asia maupun warga Eropa.
Salat Ied & Ramadhan
Salah satu pengalaman terbaik yang pernah saya alami selama tinggal di Swiss adalah merayakan salat Idul Fitri dan Idul Adha. Biasanya, pelaksanaan ibadah sunnah rutin ini dilaksanakan di kediaman Duta Besar Indonesia untuk Swiss, yaitu lebih dikenal dengan nama Wisma Duta, yang terletak di daerah Gumligen.
Memang, kebijakan open house atau membuka kediaman dubes untuk perayaan hari besar keagamaan akan bergantung pada duta besar yang sedang menjabat. Selama saya di sana dari tahun 2011 sampai 2013, dubes ketika itu, yaitu Bapak (almarhum) Djoko Susilo, selalu membuka kediamannya bukan hanya untuk warga Indonesia, tapi juga untuk masyarakat muslim asing mana saja yang ingin menunaikan salat Ied dan berinteraksi dengan sesama muslim setelahnya.
Ketika pertama kali saya menunaikan salat Idul Adha di Wisma Duta, yaitu pada akhir bulan Oktober 2011, perasaan sedih karena berada jauh dari keluarga tidak terelakkan. Maklum saja, biasanya menghabiskan lebaran bersama ayah, ibu dan segenap keluarga lain, kali ini berada ribuan kilometer dari rumah. Namun, perasaan itu sedikit terobati dengan banyaknya ibu-ibu Indonesia yang membawa hidangan-hidangan khas Indonesia seperti opor ayam, soto dan kue-kue lainnya.
Hampir enam bulan setelah tingal di Swiss, tantangan itu pun datang, yaitu menjalani puasa Ramadan. Perjuangan menahan lapar dan dahaga di bulan suci ini menjadi terasa berat karena bulan Ramadan jatuh di puncak musim panas Eropa. Di tengah-tengah musim panas, suhu udara bisa mencapai empat puluh derajat Celcius, dan matahari baru terbenam sekitar pukul 21.00. Itu artinya puasa harus dijalankan selama kurang lebih 18 jam sehari! Selain itu, tantangan bukan hanya dari menahan lapar dan haus, tapi juga menjaga pandangan mata dari warga-warga Eropa yang sebagian besar berpakaian minim di musim panas.
Selain itu, kesulitan juga melanda jika saya ingin menunaikan ibadah salat tarawih secara berjamaah di masjid. Karena rentang waktu yang cukup panjang, waktu salat Isya baru terjadi pada sekitar pukul 12 malam, sedangkan sarana-sarana transportasi publik seperti bus dan kereta hanya beroperasi sampai sekitar jam 12 malam. Maka, jika saya memutuskan untuk salat tarawih berjamaah, saya pasti akan ketinggalan bus untuk pulang ke rumah. Maka, keputusan paling bijak bagi saya adalah menjalankan ibadah tarawih di rumah saja.
Alhamdulillah, setelah menjalani dua Ramadan, serta masing-masing dua Idul Fitri dan dua Idul Adha di Swiss, akhirnya saya sukses menyelesaikan kuliah di jurusan magister Business Administration, Universitat Bern. Segala pengalaman berharga di atas selalu saya jadikan cerminan untuk menjalani hidup lebih baik lagi baik di masa sekarang maupun masa akan datang.

IMG_20160316_163453


Leave a Reply